6 Juli 2010

Di Balik Unjuk Rasa Referendum

0 komentar

Unjuk rasa ribuan massa yang membawa 11 rekomendasi hasil Musyawarah Besar (Mubes) MRP (Majelis Rakyat Papua) yang berlangsung dari tanggal 9-10 Juni 2010 ke kantor DPR Papua, tidak boleh dipandang remeh. Kendati massa unjuk rasa tanggal 18 Juni 2010 di klaim tidak sebesar jumlah unjuk rasa pengembalian Otsus tanggal 15 Agustus tahun 2005 yang – diperkirakan- mencapai 100 ribu massa


Oleh : Lamadi de Lamato

Lamadi de LamatoMassa membludak dengan membawa simbol ‘peti mati’ sebagai tanda Otsus yang baru berumur empat tahun saat itu telah dianggap gagal oleh ribuan unjuk rasa. Ibarat luka yang belum sembuh, kini masalah lima tahun silam kembali diperbincangkan lagi setelah unjuk rasa dua ribuan massa meminta Otsus dikembalikan dan referendum melalui intervensi asing (PBB) baru-baru ini.

Unjuk rasa empat tahun yang silam dengan sekarang motifnya sama, mereka berharap aspirasinya yang disampaikan ke DPR Papua dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berkompeten. Bila aspirasi yang dibawah ke DPR Papua pertama (2005) ‘dibelokan’, maka kita berharap sekarang justru harus disuarakan, apapun konsekwensinya.

Bila kita cermati dengan seksama, anggota legislatif periode kali ini (2009-2014) nampak jauh lebih peka dan bisa melanjutkan apa yang disuarakan publik. Hal itu terlihat dari respon DPR Papua terhadap rekomendasi SK MRP nomor 14 tahun 2009 – yang mensyaratkan calon kepala daerah dalam Pemilukada harus orang asli Papua.

Diluar persoalan SK ini dicurigai lalu di ditolak secara sepihak oleh pusat, tapi sebagian besar dari publik Papua semakin percaya bahwa aspirasinya tidak lagi mudah dibelokan seperti nasib unjuk rasa tahun 2005 silam. Kitapun harus salut dan memberi apreseasi pada para pendemo yang mampu menyalurkan aspirasinya (tuntutan referendum dan mengembalikan otsus diantara 11 rekomendasi Mubes) dengan damai tanpa chaos. Padahal jauh sebelum demo, moral orang asli Papua tengah diaduk-aduk dengan polemik SK MRP nomor 14.

Kalau dihitung-hitung hampir 5 bulan publik berdebat tentang SK tersebut, tapi suasana akumulatif yang diprediksi banyak pihak akan berakhir dengan chaos terhindar dengan ‘cantik’. Semua itu bisa jadi karena ditopang oleh budaya positif Papua (kasih, perdamaian dan penghormatan terhadap perbedaaan yang mengakar kuat). Catatan ini bukan memuji-muji secara berlebihan terhadap akar-akar budaya yang positif sebagaimana yang juga disinggung Francis Fukuyama bahwa budaya adalah faktor penting memahami kemajuan masyarakat – maksud Fukuyama yakni masyarakat dunia yang maju karena dipegaruhi oleh konsistensi budayanya yang kokoh sepanjang zaman. (Francis Fukuyama, Trust ; Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, Qalam, 1995).

Bila dikaitkan dengan demokrasi, budaya positif yang tergambar dalam demo tanpa kekerasan adalah demokrasi yang harus dihargai bertumbuh tanpa harus dilarang oleh siapapun. Kalaupun ada pihak-pihak yang kontra terhadap unjuk rasa, maka tetaplah kontra dalam koridor yang tepat, tanpa harus menebar teror dan ketakutan melalui berbagai isu ditengah-tengah masyarakat.

Isu bahwa unjuk rasa tanggal 18 Juni 2010 di skenario oleh oknum-oknum anggota DPR Papua tertentu, sehingga perlu dan harus di PAW (Pergantian Antar Waktu) termasuk kategori menebar teror politik yang tidak populer. Begitupun dengan mendeskredit MRP sebagai pembuat ulah dari ketidak becusan kerja mereka yang memanfaatkan akhir masa tugas jabatan – November 2010 – dalam memprovokasi masyarakat berdemo yang berujung pada tuntutan ekstrim (referendum dan kembalikan Otsus) diatas.

Tanpa kita menunjuk hidung, kita paham bahwa Papua adalah area politisasi yang dikendalikan oleh geng-geng politik. Mereka ini menyebar diberbagai lini memantau Papua sebagai zona politik ala para broker. Kerja para broker tidak jauh dari memperdagangkan isu alias mengail ditengah air keruh.

Unjuk rasa atau polemik apapun tidak akan diselesaikan secara demokratis melalui saluran demokrasi yang tersedia karena kerja para geng lebih dominan dan dipercaya oleh pemerintah pusat. Sebagai contoh, Pansus Pemilukada DPR Papua yang ingin mengkonsultasikan SK MRP dengan Mendagri dan Menkopolhukam di Jakarta dipersulit oleh para geng sehingga pekerjaan yang mestinya bisa diselesaikan dalam waktu tiga hari tidak tuntas dalam hampir satu bulan karena dipersulit oleh jaringan para geng dan broker politik.( Lihat Artikel ; Sampai Kapan Papua Diping-pong, Lamadi de Lamato, Binpa, 2010).

Di Balik Unjuk Rasa Referendum (bag-2/habis)

Tidak berlebihan bila ada ungkapan kalau mereka yang merupakan institusi resmi (DPR Papua) begitu sulit bertemu dengan seorang menteri di pusat daripada mereka yang berada diluar system resmi. Begitu mudahnya mereka yang diluar system bertemu dengan seorang menteri, sehingga wajar bila dicurigai merekalah dalang yang menjual informasi yang keliru terhadap perbaikan tuntutan masyarakat Papua secara lebih tepat sasaran.

Oleh : Lamadi de Lamato

IlustrasiBelakangan pers juga ikut-ikutan menggiring opini publik, seolah-olah unjuk rasa dengan tuntutan referendum dan kembalikan otsus – dua diantara 11 rekomendasi MRP – adalah sesuatu yang keliru dan merugikan rakyat Papua. Pernyataan Nicholas Jouwe (mantan tokoh OPM) dan Budi Setyanto (ICS) yang masing-masing dikutip bahwa pengembalian Otsus dan referendum bukan solusi pemecahan kebuntuan Papua dan sangat merugikan orang asli Papua karena secara otomatis semua privilege dicabut dan Papua akan kembali ke undang-undang nomor 32. Situasi yang menurut Budi Setyanto, sangat merugikan orang asli Papua. (Cepos,28-29/7/2010).

Hemat penulis, logika yang digunakan kedua tokoh diatas adalah logika bolak-balik seperti sebuah koin yang kalau di bolak-balik bagaimanapun nilai koin itu tetap sama; sama-sama tidak akan membawa perubahan yang diharapkan. Kenapa kita tidak berani melihat tuntutan referendum dan kembalikan otsus dalam perspektif restoratif.

Perspektif restoratif adalah yang saya pinjam dari ide restorasi Meiji Jepang yang sukses membangun Negaranya yang terpuruk menjadi sangat maju. Suksesnya restorasi karena di dukung oleh budaya lokal yang kuat serta rasa nasionalisme yang tinggi dalam setiap warga negaranya. Budaya yang kuat tumbuh dari kejujuran bukan dari intrik, manipulatif dan menebar teror. Begitupun dengan nasionalisme, yang akan tumbuh dengan kuat bila kita menjadi warga Negara yang berbagi dalam suasana psikologis, emosional dan moral yang sama (adil) di Negara ini.

Fakta itu sulit bisa kita tumbuhkan selama Negara ini selalu mencurigai setiap gerakan masyarakatnya yang jujur bersuara (unjuk rasa) untuk sebuah cita-cita perubahan yang di idealkan. Kalau mau fair, pesan unjuk rasa tanggal 18 Juni 2010 harus ditangkap tidak dalam perspektif bolak-balik.

Tuntutan referendum sampai kapanpun tidak akan hilang, kecuali formula responsinya tepat sasaran. Lagi-lagi hemat penulis, jawaban dari tuntutan ekstrim itu ada dua cara yakni yang dipikirkan CSIS dan LIPI. Pertama, bentuk instrumen demokratis dalam membenahi Otsus. Dalam konsep CSIS, lembaga itu berada di Papua seperti model BRR Aceh. Kedua, renegosiasi Otsus melalui dialog Jakarta- Papua secara komprehensif.

Dua formula itu harus dicoba dalam meretas kebuntuan yang terjadi daripada kita menggunakan logika bolak-balik dalam merespon situasi politik belakangan ini. Dengan budaya yang kokoh kita bisa menjembatani perbedaan seberat apapun. Syaratnya kita harus jujur karena inilah trust yang akan menjadi budaya perekat perubahan itu bisa terwujud.

Karena itu tidak ada alasan kita menghalang-halangi atau menebar teror pasca aspirasi itu ‘dititip’ rakyat Papua untuk dilanjutkan wakil rakyatnya ke pusat. Aspirasi ini harus sampai di telinga SBY, sehingga langkah cepat bisa segera diambil sesegera mungkin. Sebagai pendukung nilai-nilai demokrasi, unjuk rasa itu harus dibaca sebagai pesan jangan lagi membelokan aspirasi rakyat karena implikasinya bisa sangat fatal bagi kohesi demokrasi.

Kohesi itu berupa kepercayaan publik terhadap DPR Papua yang mulai membaik jangan dihalang-halangi kecuali yang inkonstitusional. Berikutnya, kohesi berupa hilangnya kepercayaan publik kepada Negara yang pura-pura alpa terhadap aspirasi yang berkembang. Singkatnya, mari kita baca bahwa momentum di balik unjuk rasa referendum sebenarnya membawa pesan kegelisahan rakyat Papua terhadap perubahan, yang kalau coba-coba digiring untuk dibelokan lagi, maka kita hanya mengakumulasi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak dan merontokan diri kita sendiri dalam sebuah ke sia-siaan.

Mengutip pernyataan sang veteran kolonel Gatot Purwanto dalam kasus Balibo 1975, kelalaian lepasnya Timor-Timur sepenuhnya kesalahan kita yang membangun negeri termiskin itu dengan cara yang membuat kecumburuan sosial tidak terbendung (Tempo edisi 7-13 Desember, 2009). Kata-kata itu jangan lagi terjadi dan mestinya menjadi pelajaran berharga bagi anak negeri ini. Sebagai bangsa yang rasional, tentu kita tidak ingin bernasib naas lagi. Karena itu, kita patut menjawab semua problem Papua dengan jujur, terbuka, santun dan demokratis. []*** (Direktur La-Keda Institute, Papua. Konsultan Politik Isu-isu Lokal)

(*) Direktur La-Keda Institute, Papua. Konsultan Politik Isu-isu Lokal

Sampai Kapan Papua Diping-pong?PDFCetakE-mail
Rabu, 16 Juni 2010 19:18

Oleh : Lamadi de Lamato*

Lamadi de Lamato

“Sudah hampir satu bulan kami di Jakarta, tapi kami sulit sekali bertemu dengan Mendagri. Terus terang kami sebagai orang Papua merasa dilecehkan dan tidak dihargai sebagai bagian dari anak bangsa. Saya sebagai ketua fraksi Golkar dan pak Ruben Magai sebagai ketua fraksi Demokrat Papua merasa malu karena pemerintah pusat (Mendagri dan Menkopolhukam) tidak menganggap kami sebagai orang Papua yang harus dihargai dan diterima baik-baik. Kami akan pulang ke Papua dan tidak akan kembali lagi ke Jakarta” (Orasi Yan L. Ayomi).

Mengutip ungkapan para orator ulung, itulah kata-kata yang keluar pada saat demonstrasi anggota terhormat kita, DPR Papua pada tanggal 1 Juni 2010 di depan halaman kantor menteri dalam negeri (Mendagri) di Jakarta. Dari delapan belas anggota panitia khusus (Pansus Pemilukada Papua) yang bertolak tanggal 11 Mei 2010 ke Jakarta dalam rangka memperjuangkan aspirasi SK MRP Nomor 14 Tahun 2009 dan kini masih tetap menjadi polemik di daerah sangat-sangat kita sayangkan.Pasalnya, demo yang merupakan sejarah baru karena konon baru pertama kali anggota terhormat berdemonstrasi itu ternyata berbuntut lahirnya musyawarah besar yang digelar dikantor majelis rakyat Papua (MRP) pada tanggal 9-10 Juni 2010. Rekomendasi Mubes diantaranya, Otsus gagal dan Jakarta harus menyetujui dialog internasional dan mendorong dilakukannya referendum -seperti kasus lepasnya provinsi Timor-Timur melalui jajak pendapat (referendum).

Terlepas benar atau tidaknya bahwa rekomendasi ini seperti gertak sambal (uji nyali Jakarta) yang dikaitkan dengan akan berakhirnya masa jabatan MRP tanggal 31 Oktober 2010 nanti ; yang mana motifnya disebut tidak paten alias rekayasa pihak-pihak yang ingin mengambil untung ditengah situasi keruh. Jika dibuat pertanyaan, siapa yang ingin mengambil keuntungan ditengah situasi tersebut? Jawabannya tentu tidak ada. Mengapa demikian? orang asli Papua – termasuk orang yang mendiami Papua – pada hakikatnya menginginkan Papua ini segera menjadi tanah yang menyejahterakan dan mensentosakan warganya. Lalu kenapa Papua terus berproblem hingga orang orang-orangnya tetap miskin dan terpinggir ditengah kekayaannya? Sebuah realitas dengan menggunakan deret ukur rasional apapun sulit dimegerti- kecuali deret ukur transendensi (agama), namun bukan tempatnya mengulas perspektif itu disini.

Banyak persoalan sepele dibuat rumit. Istilah Jakarta yang mestinya ‘diharamkan’ seperti kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah sangat terasa dengan perjuangan SK MRP selama sebulan di pusat. Bertemu seorang menteri saja seperti ingin bertemu malaikat pencabut nyawa, susahnya minta ampun! Sampai-sampai puncaknya cara-cara diluar formal- legalistik seperti hebohnya demo ketua dan anggota Pansus Pemilukada DPR Papua dengan terpaksa dilakukan demi meminta perhatian pusat (Depdagri) tapi tetap saja hasilnya nihil.Penulis pun berpikir, Negara ini jangan-jangan dikendalikan oleh para mafioso politik diluar system resmi. Kerja-kerja para mafioso di dasarkan pada kelompok kepentingan. Yang bukan termasuk gangster politik yang se-idiologi maka kerja-kerjanya jangan diberi ruang sekecil apapun. Hal itulah sangat terasa dari perjuangan tim Pansus Pemilukada DPR Papua memperjuangkan aspirasinya selama hampir satu bulan di Jakarta.

Mengutip informasi yang diterima, Pansus sudah melayangkan surat maupun sudah bertemu dengan sejumlah elemen penting di Jakarta untuk bisa di fasilitasi bertemu dengan seorang menteri tapi hasilnya kosong. Mulai dari bertemu ketua fraksi Demokrat DPR-RI (Anas Urbaningrum), staf khusus presiden bidang otonomi daerah (Velix Vernando Wanggai), ketua komisi II DPR-RI dan anggotanya, deputi Menkopolhukam dan Mendagri tapi ruang itu tidak pernah dibuka. Bahasa mereka rata-rata manis, akan ditampung dan disampaikan ke menteri maupun Presiden SBY secepat mungkin tapi ternyata omong kosong. Masalah SK MRP yang mestinya bisa dikonsultasiikan dengan menteri hanya membutuhkan waktu sekitar tiga sampai satu minggu malah dipersulit hingga sebulan. Ironisnya, menteri terkesan menghindari Pansus DPR Papua.

Kondisi ini yang patut kita sayangkan sekali. Sebagian orang yang menolak SK ini mungkin bisa tertawa lebar, tapi model-model tipu muslihat pada suatu saat akan diganjar dengan hukuman yang mencengangkan kita semua – seperti contoh vulgar masalah tsunami Aceh dan lepasnya Timor-Timur. Pada konteks inilah, urusan Papua bukan lagi menjadi pekerjaan manusia yang penuh topeng dan muslihat. Namun perkara Papua ke depan sepenuhnya otoritas perubahan drastisnya ada ditangan Tuhan. Problem Pansus DPR Papua di Jakarta yang sulit bertemu dan menyampaikan aspirasinya secara langsung ke Mendagri dan Menkopolhulkam dapat kita lihat dalam potret pemerintah yang angkuh, masa bodoh dan senang memelihara polemik di Papua. Khusus yang terakhir, terkesan masalah Papua yang berlarut-larut sengaja di skenario.

Di Jakarta terkesan hanya tiga yang paling mudah diketahui oleh publik.Pertama, Papua sebagai negeri yang masih bar-bar yakni karena sangat sering terjadi perang suku. Kedua, Papua di identikan dengan separatis atau organisasi Papua merdeka (OPM). Ketiga, Papua juga identik dengan Miras yang notabene stigmanya selalu buruk. Konstruksi buruk itu seolah telah menjadi main set orang yang belum mengenal Papua dari dekat dan itu wajar. Hal lain lagi, kendali informan pihak kedua dan ketiga tentang Papua lebih dipercaya daripada mereka yang datang dengan resmi menemui pemerintah pusat.Meminjam istilah Ruben Magai, informan-informan itu ternyata salah memberikan informasi kepada otoritas tertinggi dalam dalam hal ini pemerintah pusat (menteri dan presiden) melihat Papua. Diakui atau tidak, kesalahan itulah yang membuat setiap keputusan pusat terhadap perbaikan Papua juga tidak luput dari kekeliruan dan kesalahan yang vatal.

Di tingkat lokal kitapun tanpa sadar membuat lompatan kekeliruan yang mengherankan, kita berdebat diberbagai media lokal sehingga suhu politik lokal menjadi ‘panas’. Perdebatan yang dalam hemat saya kontraproduktif dan salah sasaran. Kalau mau jujur SK MRP itu tidak ada suasana kontra dari mereka yang tidak setuju. Faktanya yang melakukan demonstrasi dan dukungan terhadap SK MRP itu diberlakukan hanya yang pro saja. Sementara yang kontra nyaris tidak tampak.Namun bagai istilah kentut, kita hanya mencium baunya saja sementara bunyi kentutnya tidak kedengaran. Analogi kentut itu sama persis dengan mereka yang menolak. Mereka tidak tampak dalam demonstrasi tapi gerakan mereka menggagalkan SK MRP ini sangat kuat dilakukan melalui maneuver-manuver terselubung yang sangat sulit di deteksi. Dalam konteks ini, kita tidak bisa menyebut SK MRP ada dua kubu seperti selama ini menjadi perdebatan ditingkat elit. Yang benar, SK MRP itu hanya ada kubu pendukung saja, sementara yang menolak berpolitik (maaf) ala kentut tadi.

Demokrasi di tanah Papua dimata siapapun sangat lucu bila mereka melihat fakta dan fenomena ini. Bagaimana tidak, kita ingin menyelesaikan polemik daerah di pusat tapi kita sendiri yang malah ‘berkelahi’ dengan bayangan kita sendiri. Orang di pusat acuh tak acuh terhadap daerah, tapi ada sebagaian dari kita yang berbicara seolah-olah sebagai orang pusat.
Hemat penulis, secepatnya kita menggali nilai-nilai kearifan lokal sehingga kita tidak terus-menerus termanipulasi dengan model-model yang menyakitkan yang diperlihatkan oleh pusat. Nilai-nilai kearifan lokal jauh lebih bisa menyelesaikan masalah daripada kita datang mengadu atau berkonsultasi tapi ternyata kita hanya diletakan dalam persepsi yang salah. Hidup ini sangat enak bila kita mampu memendam kekesalan pada orang lain.

Penjelasan kalimat terakhir itulah yang kita pegang, sehingga kesan pusat mem ping-pong Papua yang tidak kunjung selesai bisa kita tekan dengan kepala dan hati yang dingin. Semoga situasi politik Papua pasca kepulangan Pansus DPR Papua tidak membuat kita terbakar emosi, tapi mari kita tetap berpegang bahwa saat yang indah dari kesabaran masyarakat yang di pim-pong akan tiba melalui rekayasa Tuhan. Lagi-lagi tanah ini hanya bisa selesai dengan doa yang tulus saja dari orang-orang baik. Hal itu penting, mengingat semua relung perubahan telah di skenario dengan cara yang keliru dan kitapun sulit berbenah bila paradigma itu belum juga berubah.

*Penulis adalah Direktur La-Keda Institute, Papua. Konsultan Politik Isu-isu Lokal.

0 komentar: